Title | Tajuk : Pengertian Tentang Lukisan (5)
Magazine | Majalah : Majalah Mastika
Author | Penulis : Trisno Sumardjo
Date | Tarikh : December 1955
Page | Mukasurat : 32 – 35
Menurut dugaan para ahli sejarah, kira-kira pada tahun 1500 Sebelum Masihi, orang-orang Indonesia agaknya menyebarkan diri ke Nusantara dari India belakang. Pun juga, bahawa mereka tak selamanya tinggal di situ dan sudah datang ke sana dari Yunan di Asia Tengah dekat negeri Tiongkok dalam zaman yang lebih kuno lagi. Sebelum 1500 Sebelum Masihi itu hanya ada orang-orang yang kebudayaannya disebut kebudayaan Paleolitis (Zaman Batu Purba), yakni taraf budaya di mana orang memakai alat dan senjata batu yang kasar dan belum mengenal logam. Tapi orang-orang Indonesia yang sesungguhnya ialah mereka yang menyeberangi lautan tadi dan telah memakai alat-alat urunggu serta termasuk zaman Neolitik (Zaman Batu Baru). Zaman ini adakalanya juga disebut Zaman Megalitis (Batu Besar) disebabkan adanya batu-batu besar yang kasar pemahatannya dan yang dipergunakan untuk penyembahan nenek-moyang serta pemujaan ruh. Peninggalan-peninggalan zaman itu antara lain dapat dilihat pada patung-patung di Daratan Tinggi Pasembah di Sumatera. Tentang kebudayaan kerohaniannya, kesusasteraan maupun seni rupa kita hampir tak mengetahui apa-apa. Hanya di sana-sini ditemukan patung-patung primitif yang bersangkutan dengan pemujaan nenek-moyang. Sebahagian upacara beribadat terdiri dari wayang, tapi masih merupakan boneka-boneka kesenian Hindu ke arah bentuk yang sekarang.
Bilalah terjadinya sentuhan pertama dengan orang-orang Hindu tak dimaklumi dengan pasti. Tapi kira-kira pada permulaan tarikh Masihi kita mengetahui khabar-khabar pertama tentang berdirinya kerajaan-kerajaan yang disusun dan diperintah menurut model kerajaan-kerajaan India hanya dari kitab-kitab kuno orang Tiongkok.
Kesenian-kesenian Indonesia-Hindu terdapat di Jawa, Sumatera dan Bali. Di Pulau Jawa, yang dalam hal ini paling penting, terdapat apa yang disebut Zaman Jawa Tengah (abad 8 dan 10) dan Zaman Jawa Timur (abad 10 – abad 16). Di Sumatera ada kesenian abad 8 sampai 15 di daerah-daerah sekitar Sungai Musi (Palembang) dan lain-lain. Pulau Bali mempunyai peninggalan-peninggalan dari abad 8 sampai abad 14, terutama di kerajaan-kerajaan kuno Pijiang dan Bedulu.
Bangunan-bangunan tertua yang disebut candi-candi dan merupakan pemakaman raja-raja itu berasal dari abad 7 hingga 8 di kerajaan Jawa Tengah yang bernama Mataram dan kini berpancaran di daerah-daeran Jogjakarta, Sukarta, Semarang, Kedu dan Bagilan. Meskipun makam-makam atau candi-candi itu direncanakan menurut gaya India, namun XXX tak pernah dijumpai gaya yang tepat XXX sehingga dapat diduga bahawa orang Jawa telah merubah gaya itu menurut kebiasaan mereka sendiri.
Profesor Doktor T.H. XXX Galistin mengemukakan suatu XXX penting mengenai perbezaan antara kesenian di Jawa Tengah dan di Jawa Timur XXX abad 8 hingga abad 15 seperti XXX kutip di bawah ini:
“Kesenian Jawa Tengah konon XXX klasik. Di dalamnya dipergunakan prinsip-prinsip Hinduistis secara agak murni. Ada pernisbahan XXX antara bangunan dan hiasannya, keseimbangan dan ketenagaan yang luhur, ada kesederhanaan dan tata tertib. Ternyata dari penyusunan bangunan-bangunan kecil, sedang, dan terutama kompleks-kompleks XXX besar dengan beratus-ratus candi tambahan kecil, disusun secara hirarkis yang tegang di sekitar. Suatu titik XXX titik tinggi. Semua itu XXX hasil pertama yang baik dan XXX seperti beberapa bangunan XXX dari abad 8, lalu mempunyai sifat lain yang lebih mewah lagi mulia dalam zaman Sailendra (750 – 850) dengan antara lain candi-candi Kalasan XXX Borobudur, Mendut. Ukirannya mencapai kehalusan yang sangat matang XXX mengatasi semuanya itu, misalnya /ms 33/ kompleks Lara Junggarang Parambanan (abad 10). Tapi di situ XXX masih nampak pengendalian diri XXX kesantunan, perasaan tertib XXX untuk menempatkan bagian dalam XXX keseluruhan. Tetapi sesudah itu – kata XXX orang – terjadi suatu yang menyimpang.
Candi Kidul (sesudah 1248) masih terikat pada Jawa Tengah, meskipun XXX di Jawa Timur. Tetapi relief-relief XXX Jalatunda (997) menunjukkan XXX perbezaan gaya yang besar dari Prambanan XXX sudah dinamis itu, di mana prinsip-prinsip Borobudur masih juga dituruti, sungguhpun secara lebih bergerak dan dikelompokkan.
Mengenai Candi Jago (sesudah 1268), di situ tiba-tiba muncul relief-relief wayang. Bilik candi tidak di tengah tetapi di sebelah belakang di atas latar bawah, meskipun candi-candi yang terlepas menurut pembuktian berniat kampras mengikuti gaya Pala dari India.
Lebih aneh lagi adalah Panataram (dibuat dalam abad 12, selesai abad 14) dengan pembagian pelataran-pelataran candi secara Bali/balai, dengan bangunan-bangunan besar kecil di situ, boleh dikatakan simpang-siur letaknya. Ini agaknya mewakili prinsip-prinsip bangunan-bangunan masyarakat harus dilihat secara k-b-t-u-l, walaupun tiap-tiap bahagian adalah juga indah.”
Menurut Doktor F. Dabliu Surtahim, kesenian di Jawa Timur itu dengan sedar berlainan dan bertolak dari prinsip-prinsip lain daripada kesenian di Jawa Tengah; bukannya suatu penurunan malahan suatu penjelmaan baru yang lemah. Kedua daerah itu bukannya merupakan kesatuan dalam seluruh kesenian Jawa-Hindu seperti dikatakan oleh sarjana lain, Profesor Krum, /ms 34/ melainkan dua dunia yang berlainan menurut kerohanian serta gayanya. Sebagai pendapatnya sendiri, Profesor Galistan menuturkan bahawa pendirian Profesor Krum itu hendaknya agak dirubah. Kesatuan memang ada, tetapi kesatuan ini nampak dalam bentuk lain di Jawa Timur.
Pada lebih kurang abad 10, hasil-hasil kesusasteraan India disadur ke bahaasa Jawa kuno. Inilah yang menjadi bahan untuk drama wayang dan merupakan perantaraan kesenian di kedua daerah itu. Melalui wayang inilah pada zaman itu suatu rangkaian cerita menjadi disukai ramai. menurut keterangan Russerls, orang mengenalkan diri dengan tokoh-tokoh utamanya. Barangkali untuk keperluan inilah cerita-cerita itu selalu dipilih kembali dan disadur. Demikianlah bahan-bahan itu dilukis oleh pelukis-pelukis yang hasil kerjanya sudah tak ada yang tinggal. Akan tetapi ada disebutkan oleh kesusasteraan wayang, pelukis-pelukis dan para pembuat gambaran di daun lontar, relief-relief dan muslium-muslium. Itulah tiga faktor yang saling mempengaruhi terlahirnya gaya baru.
Dalam abad 13, Sumatera Utara masuk dunia Islam, disusul oleh kota-kota di pantai Jawa Utara antara tahun 1400 – 1600. Majapahit, kerajaan Jawa-Hindu yang gilang-gemilang itu, diruntuh pada tahun 1528. Pada tahun 1511, masih ada raja Jawa menghadiahkan kepada seorang nakhoda Eropah sebuah lukisan beserta tombak-tombak. Di mana sekarang lukisan itu tak kita ketahui. Tapi nyatalah bahawa di waktu itu masih ada seni lukis, yang sampai kini barangkali dengan perubahan gaya, masih ada di dalam jenis wayang yang sudah seabad lebih tak dibikin orang lagi, yakni wayang beber. Asalnya boleh jadi dari zaman Jawa Tengah dan sebelum itu dari India.
Tentang kesenian dalam zaman Islam ini, Profesor Galistin antara lain menulis sebagai berikut:
“Seorang sultan bukanlah dewa; sesudah matinya ia tak kembali kepada makhluk yang lebih tinggi. Candi-candi sebagai tempat permakaman raja itu tak lagi dibikin. Beserta tradisi seni bangunannya, patung-patung dan hiasan-hiasannya, lenyap pula para penditanya. Tetapi agama baru itu di Jawa tak mempunyai gaya seni bangunan sendiri seperti di tempat lain. Orang menyesuaikan diri dengan yang ada. Salah satu menara tertua di Jawa hanya berbentuk candi, di mana makara hanya ditunjukkan tempatnya saja dengan tiada dikerjakan lebih lanjut. Segala suatu yang berjiwa tak boleh diperupakan, kecuali kalau bentuknya disalin sampai menjadi suatu yang dalam bentuk yang telah dirubah itu tak mungkin bisa hidup benar-benar. Binatang-binatang menjadi garisan-garisan melingkung ataupun huruf-huruf Quran yang diukir. Itulah yang diperbolehkan. Pun motif-motif geometris, tanam-tanaman, gedung-gedung boleh digambarkan. Tahun 1599 semuanya itu masih dijumpai pada panel-panel indah dengan gaya menghias yang terikat seperti yang kini dapat dilihat dalam masjid di Mantingan. Mimbar-mimbar lama masih menunjukkan hiasan ukiran Jawa kuno. Kereta-kereta (di Keraton Ceribon) menunjukkan bagaimana kenderaan raja Indonesia-Hindu. Hiasannya adalah menurut gaya yang terdapat di daerah-daerah pantai. Di situ, motif-motif Jawa Timur bahagian akhir, seperti di Ceribon, diperpadu dengan tarikan garis Tiongkok menjadi ornamentik asimetris yang sangat menarik, penuh dengan motif-motif awan dan tanah dari emas, kayu, kuningan dan batik. Wayang milik nasional itu tetap ada kerana tak dirasa sebagai hasil kekafiran, bahkan dipergunakan dalam misal-misal secara Islam yang ajaib-ajaib seperti dulu dalam lukisan-lukisan Jawa kuno yang spekulatif. Tapi bentuknya diubah-ubah sehingga figura-figura direlief-relief Jawa kuno dari abad 14 lebih serupa dengan yang ada di Bali (yang barangkali dimasukkan ke sana dalam zaman Majapahit) daripada dengan yang ada di Jawa sekarang. Gapura-gapura dan masjid-masjid memperlihatkan bentuk bangunan Jawa Timur.”
Bahawa Islam mencekik seni Jawa kuno dengan tak banyak memberi gantinya, hal ini bukanlah disebabkan oleh kebudayaan yang bertalian dengan agama ini. Yang nyata-nyata, di tempat lain seperti /ms XXX/ XXX, India dan Eropah telah XXX mengakibatkan bangunan-bangunan, miniature-miniature dan permaidani-permaidani yang indah permai. XXX Indonesia, Islam tak sempat berkembang dalam kesenian. Pada mulanya pihak Islam yang berkuasa mempeributkan kekuasaan. Kemudian kerajaan Mataram yang kedua (Mataram Islam) bertahan keras XXX terhadap V.O.C. (Belanda). XXX sesudah itu ada perang antara pihak-pihak yang bersekutu. Ada perang Jawa ‘Cultuursteksch’ jalan post besar, XXX perang Aceh. Jika tak ada waktu mengasuh XXX perdamaian terjadi orang-orang Islam yang berkuasa tak mempunyai wang, XXX mereka tak lagi merdeka. Selama abad 18 – 20 terutama faktor ekonomilah yang dapat menerangkan lenyapnya keindahan kuno yang tenang lagi luhur XXX kerja seni. Pemesan-pemesan Indonesia yang kuat kewangannya di lapisan tinggi masyarakat telah tak ada, kecuali di Jogjakarta dan Surakarta, tempat raja-raja Jawa, di mana tradisi-tradisi Jawa kuno, terutama mengenai seni tari, wayang dan gamelan, masih halus dan tinggi sampai zaman kini. Lambat-laun XXX kaum sosiologi menunjukkan ini – timbullah golongan baru, yakni golongan dagang serta orang-orang yang dididik cara Barat. Mereka hendak mencari XXX yang sama dengan kaum bangsawan dalam kesenian masyarakat.”